WELCOME TO MY BLOG
Sabtu, 30 April 2011

KESEDIHAN


Namaku Bening… Sebening bulir kristal yang menggantung di sudut mata tatkala pria atletis itu memintaku untuk berhenti bekerja. Gajinya cukup untuk memenuhi kebutuhan kami berdua katanya. Tidakkah ia tahu, bekerja bukan soal gaji belaka. Ada aktualisasi diri disana, ada rekan kerja yang lebih tepat disebut sahabat, ada proses berpikir sistematis, juga keputusan tegas yang tersaput selubung diplomasi.
Namaku Bening… Sebening bulir kristal yang menggantung di sudut mata tatkala pria yang ku panggil mas itu selalu mengecek posisiku. Memastikan aku berada di rumah setiap saat. Tak ada tempat bagiku, tidak juga bersama sobat kuliah dulu. Konsentrasi mengurus biduk pernikahan pintanya. Namun, berlayarkah sebuah biduk dengan satu orang saja yang mendayung? Ku rasa dua lebih cepat. Yang berarti memaksanya untuk lekas pulang kerumah dan bukannya terpaku di pojok caffe dengan dalih bertemu mitra bisnis (tentu saja ditemani perempuan dengan rok mini yang kau beri jabatan sekretaris). Jangan kira aku bodoh. Kepastian posisiku mengamankan kencanmu bersama para pelacur berpendidikan tinggi itu. Engkau memastikan bahwa aku tak menangkap basah aibmu.

Namaku Bening… Sebening tetes air  yang mengalir deras dari pelupuk mata tatkala pria yang seharusnya melindungi itu mendaratkan tangan kasarnya di pipi. Tingkahku terlalu binal katanya, seperti perek yang menjajakan diri di pinggir jalan. Padahal aku hanya bercakap sebentar dengan koleganya di pesta koktail tadi sore. Salahkah aku yang haus pergaulan ini tatkala bertanya basa – basi seputar bilangan Semanggi, Sudirman dan Thamrin ? Segitiga emas yang kurindukan semenjak kau memaksaku undur dari puncak karier cemerlang. Yang ku tapaki dari bawah dulu.
Namaku Bening… Sebening tetes air  yang mengalir deras dari pelupuk mata tatkala pria yang seharusnya menyayangi itu mencaciku. Merendahkan martabatku dengan kata – kata yang lebih tajam dari mata silet paling baru sekalipun. Pakaianku mengundang tatapan nakal cercamu. Tapi bukankah engkau yang berpesan agar aku tampil memukau ? Supaya jangan istrimu ini mendatangkan cemoohan bagimu. Dan ketika ku berdandan menawan hingga mengundang decak kagum lawan jenis, mengapa kau marah seperti singa kelaparan ? Aku kah yang salah bila para pria terhormat yang kau panggil kolega itu tak mampu menahan konaknya melihat sedikit belahan dada ini ? Salahkan mata mereka ! Jangan salahkan aku.
Namaku Bening… Sebening dan sedingin embun tatkala pria yang kusebut suami itu melucuti pakaianku setiap pagi padahal aku tak ingin. Meremas kasar payudara dan mencabik ganas seluruh tubuh ini. Memasukkan Mr. Happy yang tidak membuat aku happy.  Tanpa peduli apakah sedikit belainya itu cukup menghadirkan pelumas bagi daerah intimku. Tak diacuhkan rintih sakit atau erangan tak nyamanku. Bahkan itu semua bagai cambuk yang melecut birahinya bergerak lebih cepat hingga tergeletak kelelahan dengan air mani berceceran.

Namaku Bening… Sebening senyum ketika kutancapkan tajam pisau dapur di dadanya sesaat setelah ia terlelap sehabis memperkosaku. Aku memang istrinya, tapi bukan berarti ia boleh memaksa saat aku tak ada rasa. Atau mungkin aku sudah mati rasa. Apakah pernikahan mengijinkanmu merenggut kemerdekaan atas tubuhku sendiri ? Apakah pernikahan melegitimasi suami untuk merampas kebebasan ekspresi ? Akulah imam rumah tangga ini, begitu kilahmu tiap kali aku mengkritisi aturan dan keputusan konyolmu. Karena engkau imam maka tak ada lagi ruang untukku bicara. Karena engkau imam maka inputku pun tak kau indahkan.

Ku timbang masak  dan ku akhiri saja 10 tahun pernikahan tanpa anak ini dengan bencana. Aku benci pernikahan ini, karena telah menjadi wadah bagimu menjajah aku, memaksakan kehendak tanpa mau tahu perasaanku ! Ini adalah panggung sandiwara karena aku tak lebih dari boneka mainan sekaligus budak pelampiasan nafsu.
“Me..me..mengapa kau… kau…  lakukan ini Bening?” tanyamu terbata – bata. Darah segar mengalir dari lukamu.
“Karena aku bukan imam,” jawabku dingin sedingin lantai yang kuinjak seraya memperdalam hujaman pisau tajam ini – mengorek habis ulu hatimu.
Dan kau pun diam selamanya. Tanpa menyisakan lagi bening air mata di pipi mulusku.

0 komentar:

Posting Komentar

 
;